Untuk membaca pos ini dari awal, silahkan klik di sini "Dampak Perubahan Satuan Lot & Fraksi Harga Saham (Bagian 1)."
Aksi bandar apa saja yang terganggu perubahan fraksi harga saham?
Kalau anda sering memperhatikan "live trading", anda tahu bahwa ada bandar-bandar saham tertentu yang hobi tempel-cabut Bid/Offer. Nah, praktek tempel-cabut Bid/Offer ini termasuk aksi yang terganggu oleh perubahan fraksi harga.
Apa itu aksi tempel-cabut Bid/Offer? Dan mengapa perubahan fraksi harga mengganggu praktek ini?
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat ilustrasi berikut.
Kalau anda sering memperhatikan order book Bid/Offer saham Suparma (SPMA) anda tahu bahwa pada kondisi normal, Bid dan Offer SPMA di setiap fraksi harga (lama ataupun baru) hanya ada beberapa ratus lot. Tapi ada saat-saat tertentu—ketika bandar hendak "menggoreng" saham tersebut—tiba-tiba volume Bid SPMA menjadi puluhan ribu lot.
Yang dilakukan bandar adalah sebagai berikut: untuk membuat kesan seakan-akan transaksi ramai, bandar membeli saham SPMA ke atas, lalu menempel Bid dengan volume besar pada harga tersebut. Dan ini dilakukan berulang kali. Beli ke atas, tempel Bid, beli ke atas, tempel Bid, beli ke atas, tempel Bid.
Aksi tempel Bid ini membuat SPMA naik cepat. Pergerakan harga naik ini menarik perhatian pasar dan ada orang-orang (termasuk saya) yang terpancing ikut membeli.
Ketika bandar merasa sudah cukup banyak "mangsa" yang ikut membeli di harga yang sudah naik ini, si bandar akan mencabut (withdraw) semua Bid di semua fraksi harga: yang tadinya ada Bid puluhan ribu lot, tiba-tiba tersisa hanya ratusan lot. Korban yang panik akan berusaha menjual (cut-loss) tapi karena Bid cuma sedikit, saham langsung anjlok ke harga semula.
Nah, misalkan harga SPMA Rp 250. Pada fraksi harga lama, bandar bisa menaikkan harga saham dengan membeli di 255, lalu menempel Bid 10.000 lot di 255, membeli lagi di 260, menempel Bid 10.000 lot di 260, membeli di 265, menempel Bid 10.000 lot di 265. Kalau hal ini dilakukan terus sampai harga 285, berarti bandar menempel Bid di 7 fraksi harga dan harga saham naik Rp 35 (14%).
Pada fraksi harga baru, aksi menempel Bid di 7 fraksi harga akan membuat SPMA naik dari 250 ke 257. Tapi kenaikan Rp 7 ini hanya 2.8%. Kalau bandar ingin menaikkan SPMA sampai dengan 285, aksi tempel-cabut harus dilakukan 35 kali. Semakin banyak kali berarti semakin banyak kerjaan untuk mendapatkan hasil yang sama. Tidak heran toh kalau bandar yang hobi tempel-cabut Bid/Offer tidak setuju dengan perubahan fraksi harga.
SPMA adalah contoh aksi tempel-cabut Bid/Offer yang kasar. Tapi aksi tempel-cabut yang lebih halus pun terpengaruh perubahan fraksi harga.
Misalkan pada fraksi harga lama saham BWPT Bid/Offer di 2000/2025. Kalau bandar sudah membeli banyak di 2000, ia bisa memasang Offer jual di 2025. Nah, untuk "memaksa" pemain lain membeli di 2025, si bandar akan menempel Bid jumlah lot besar di 2000, katakanlah 20.000 lot. Pemain lain yang mengira Bid ini adalah Bid sungguhan, akan membeli di 2025 karena khawatir kehabisan. Nah, setelah barang milik bandar di 2025 habis terjual, si bandar mencabut (withdraw) Bid-nya di 2000.
Dengan fraksi baru, kalau si bandar melakukan aksi yang sama, ia harus "memaksa" pemain lain membeli dulu di 2005, 2010, 2015, 2020, barulah saham yang ia pasang di 2025 akan laku. Nah, aksi menempel Bid di 5 fraksi harga beresiko lebih tinggi dan menyita lebih banyak waktu dan tenaga daripada aksi menempel Bid hanya di 1 fraksi harga.
Sampai di sini anda sudah melihat bahwa kelompok harga baru seharusnya membuat pasar lebih efisien. Anda juga sudah tahu bahwa fraksi harga baru mempersulit bandar memanipulasi pasar dengan aksi tempel-cabut Bid/Offer. Keduanya adalah hal yang positif bagi pemain saham kecil seperti anda.
Apakah ada dampak lainnya bagi anda? Tentu saja ada.
Dampak perubahan fraksi harga
Kalau anda sudah lama main saham dengan fraksi harga lama, saya yakin anda merasakan bahwa fraksi harga baru—yang mempersempit jenjang harga—cenderung membuat saham aktif menjadi lebih "volatile" alias lebih bergejolak.
Kok bisa?
Mari kita lihat sebuah ilustrai lagi.
Misalkan anda tertarik membeli saham BRAU yang harganya Rp 200.
Pada fraksi harga lama, posisi Bid/Offer adalah 200/205. Artinya, anda bisa mengantri beli di harga 200 (tapi belum tentu kebagian) atau membeli langsung di harga 205. Perbedaan antara antri beli di Bid dan beli langsung di Offer adalah Rp 5 atau 2.5%.
Pada fraksi harga baru, posisi Bid/Offer adalah 200/201. Artinya, anda bisa mengantri beli di harga 200 (tapi belum tentu kebagian) atau membeli langsung di harga 201. Perbedaan antara antri beli di Bid dan langsung beli di Offer adalah Rp 1 atau 0.5%.
Dengan perbedaan Bid/Offer yang hanya 0.5%, besar kemungkinan banyak pemain saham yang merasa tidak perlu antri di 200 dan lebih baik LANGSUNG membeli di 201.
Katakanlah anda termasuk orang yang niatnya membeli langsung di 201. Tetapi memasukkan order membeli langsung di 201 tidak berarti order tersebut pasti terlaksana. Bisa saja order anda keduluan order beli orang lain. Karena tidak terlaksana di 201, berarti order anda tersebut menjadi order Bid di 201.
Nah, sementara anda menunggu Bid anda di 201 "match", ada orang lain yang berpikir "Wah, daripada nunggu di 201, lebih baik beli langsung di 202 deh." Dan hal ini bisa terjadi berturut-turut, mengakibatkan BRAU naik ke 203, 204, 205, 206,..., 215.
Ketika BRAU naik ke 215, anda berpikir,"Kalau gue tunggu lagi, bisa-bisa BRAU naik ke 230 dan gue belum dapet." Langsunglah anda beli di 215. Tapi apa yang terjadi? BRAU sekarang turun ke 214, 213, 212, 211,..., 205.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Hal ini terjadi karena ada individu yang niat awalnya menjual di Offer 215. Karena tidak laku-laku, ia berpikir,"Aku beli di 205 dan sudah untung. Daripada mengantri lama di 215 tapi belum tentu laku, lebih baik aku jual langsung saja di 214. Lagipula, bedanya toh tidak seberapa."
Masalahnya, ketika BRAU turun ke 214 lagi-lagi ada individu yang berpikir,"Daripada gak laku di 214, lebih baik gue jual langsung deh di 213." Dan hal ini bisa terjadi berturut-turut, menyebabkan BRAU turun ke 213, 212, 212, 211,..., 205.
Nah, pada fraksi harga baru siklus naik-turun di atas bisa terjadi berkali-kali dalam satu hari.
Apakah ini dampak positif atau negatif?
Bisa positif, bisa juga negatif.
Artinya, kalau anda tahu apa yang seharusnya anda lakukan, anda bisa lebih sering mendapatkan untung dari gejolak harga yang naik-turun berulang-ulang. Tapi kalau anda tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan, anda bisa rugi berkali-kali karena anda membeli di harga tinggi dan cut-loss di harga rendah.
Dari ilustrasi di atas, jelas bahwa fraksi harga yang menyempit membuat volatilitas (gejolak) saham menjadi lebih tinggi. Volatilitas yang lebih tinggi membuka peluang untuk mendapat untung dari harga saham yang naik-turun. (Mohon diingat: membuka peluang mendapat untung TIDAK BERARTI anda pasti mendapat untung.)
Nah, sampai di sini coba anda bandingkan pendapat saya di atas dengan pendapat "pakar-pakar" sok-tahu yang—sebelum aturan fraksi harga baru dilaksanakan—berkoar-koar meminta otoritas bursa membatalkan perubahan fraksi karena menurut mereka fraksi harga baru akan membuat trader lebih sulit mencari untung.
Logika mereka adalah sebagai berikut: pada fraksi harga lama, beli saham di 200 dan jual di fraksi berikutnya di 205 sudah untung . Dengan fraksi baru, beli di 200 dan jual di fraksi berikutnya di 201 belum untung.
Saya tidak tahu "pakar-pakar" tersebut belajar logika di mana, tapi pendapat tersebut 100% tidak memakai akal sehat. Mengapa? Memangnya ada aturan bahwa anda harus menjual saham hanya 1 fraksi harga ke atas?
Dengan fraksi harga baru, anda bisa membeli di 200 dan tetap bisa menjual di 205 kalau itu yang anda mau. Kan tidak ada yang memaksa anda harus menjual di 201.
"Tapi, dengan fraksi harga baru, memasang jual di 205 kan belum tentu laku," kata pakar-pakar tersebut membela diri.
Memangnya pada fraksi harga lama, anda jual di 205 pasti laku?
Lagian, pada fraksi harga lama kalau saham anda tidak laku di 205 dan anda harus jual, berarti anda harus jual di 200. Pada fraksi harga baru, ada kemungkinan anda bisa jual di 201, 202, 203, atau 204.
Tambahan lagi, dengan gejolak harga yang lebih tinggi, anda bisa beli di 200, jual di 204. Kalau saham masih naik, anda bisa beli lagi di 206 lalu jual di 210. Lalu ketika saham turun lagi ke 203, anda bisa beli lagi, dan jual lagi kalau naik.
Itu teorinya. Prakteknya tentu saja tidak mudah. Tapi yang penting adalah peluang jual-beli makin banyak dengan fraksi harga baru.
Kesimpulannya: Fraksi harga baru yang lebih sempit menguntungkan pembeli dan penjual, mempersulit bandar untuk mengerjai pemain saham-pemain saham kecil, dan menambah peluang mendapatkan untung dari gejolak harga saham. Tidakkah sebaiknya kita sambut dan manfaatkan perubahan tersebut?
No comments:
Post a Comment