Tuesday, August 2, 2016

Tahap-tahap Belajar Main Saham

Di pos "Cara Terbaik Belajar Main Saham" saya menulis bahwa pemula yang ingin mendapat untung dari saham harus bermain saham (jual-beli) berkali-kali, berhari-hari, bertahun-tahun.

Mengapa harus sampai bertahun-tahun?

Karena untuk bisa mendapat untung secara konsisten, seorang pemula harus melewati proses pembelajaran main saham selama beberapa fase/tahap. Dan setiap fase itu bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sampai beberapa tahun.

Fase-fase apa saja yang harus dilalui?

Di buku Mastering the Trade, John Carter menulis bahwa ada 5 fase yang biasanya dilalui pemain saham.

Figure 1. Sampul Buku John F. Carter "Mastering the Trade"

Fase 1: Destined to losesix months to a year. Ditakdirkan untuk rugi—enam bulan sampai setahun.

Fase 2: Fear-based tradingtwo to six months. Trading saham berdasarkan rasa takut—dua sampai enam bulan.

Fase 3: Search for the Holy Grailsix months to death. Mencari cara main saham (analisa atau indikator atau trading plan, dll) paling mujarab—enam bulan sampai mati.

Fase 4: Learning how not to lose. Belajar cara untuk tidak rugi.

Fase 5: Become consistently profitable. Mendapat untung secara konsisten.


John Carter menyatakan bahwa hampir SEMUA pemain saham melewati tahapan-tahapan seperti di atas.  Hanya saja ketika mereka sampai ke Fase 3, biasanya, mereka sudah kehabisan modal dan tidak bisa lanjut ke Fase 4.


Pertanyaan saya untuk anda:
  1. Di Fase manakah anda berada saat ini?
  2. Sudahkah anda memastikan agar modal anda bisa bertahan sampaisetidak-tidaknya—Fase 4?

Saham Index LQ-45 Update Terbaru Agustus 2015 - Januari 2016

PT Bursa Efek Indonesia Tbk (BEI) mempublikasikan daftar Saham Index LQ-45 Update Terbaru Agustus 2015 - Januari 2016. Secara setiap enam bulan sekali data saham perusahaan yang masuk Indeks LQ45 akan di update. Berdasarkan ulasan di website BEI pada 29-7-2015 bahwa ada dua emiten yang sahamnya yang keluar dari daftar Index LQ-45 yakni PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA). Sedangkan dua perusahaan yang masuk ke daftar Indeks LQ-45 adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex dan PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON).
Siapa yang tidak mengenal Sritex? Sritex adalah perusahaan besar pakaian untuk ekspor yakni sebagai produsen seragam militer dan fashion untuk merk-merk ternama seperti Zara dan Unoqlo. Sedangkan Wika Beton adalah anak usaha dari Perusahaan Wika Tbk yaitu perusahaan yang memproduksi beton pracetak untuk proyek-proyek besar.
Peringkat pertama di duduki oleh Perusahaan berbasis pertanian yaitu PT Astra Agro Lestari Tbk dengan kode AALI sedangkan menyusul dibawahnya adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk dengan kode ADHI.
Lebih jelasnya berikut ini merupakan daftar saham di Indeks LQ45 Indonesia Periode Agustus 2015 – Januari 2016:
  1. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI)  
  2. PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI)
  3. PT Adaro Energy Tbk (ADRO)  
  4. PT AKR Corporindo Tbk (AKRA)  
  5. PT Astra International Tbk (ASII)
  6. PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI)
  7. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA)
  8. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI)
  9. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI)
  10. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN)
  11. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI)
  12. PT Global Mediacom Tbk (BMTR)
  13. PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE)
  14. PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN)
  15. PT Excelcomindo Pratama Tbk (EXCL)
  16. PT Gudang Garam Tbk (GGRM)
  17. PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP)
  18. PT Vale Indonesia Tbk (INCO)
  19. PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)
  20. PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP)
  21. PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG)
  22. PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR)
  23. PT Kalbe Farma Tbk (KBLF)
  24. PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR)
  25. PT Matahari Department Store Tbk (LPPF)
  26. PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP)
  27. PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN)
  28. PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA)
  29. PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS)
  30. PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA)
  31. PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP)
  32. PT Pakuwon Jati Tbk (PWON)
  33. PT Surya Citra Media Tbk (SCMA)
  34. PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO)
  35. PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR)
  36. PT Summarecon Agung Tbk (SMRA)
  37. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL)
  38. PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS)
  39. PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG)
  40. PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM)
  41. PT United Tractors Tbk (UNTR)
  42. PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)
  43. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA)
  44. PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT)
  45. PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON)
Demikian update terbaru dari daftar saham bonafit yang masuk dan keluar dari Saham Index LQ-45 Update.

Pilih Mana: Beli Saham Yang Lagi Naik atau Lagi Turun?

Di bulan Agustus 2015 saya men-survey pembaca blog ini dengan pertanyaan berikut:

Pilih Mana:

1. Beli saham yang lagi naik.
2. Beli saham yang lagi turun.
3. Beli saham yang tidak-naik-tidak-turun.

Total 161 suara masuk (terima kasih untuk semua yang meluangkan waktu memilih) dengan hasil sebagai berikut:

42% (68 suara) memilih beli saham yang lagi naik
53% (85 suara) memilih beli saham yang lagi turun
5% (8 suara) memilih beli saham yang tidak-naik-tidak-turun


Terus terang, saya sedikit terkejut dengan hasil ini.

Sebelum melakukan survey, saya berasumsi bahwa mayoritas mutlak (75% atau lebih) pemain saham lebih suka membeli saham yang lagi turun.

Mengapa saya berasumsi begitu?

Karena selama ini, HAMPIR SEMUA pembaca blog yang bertanya dan mayoritas orang yang saya kenal lebih tertarik membeli saham yang lagi turun. (Ini mungkin karena manusia pada umumnya mengidentikkan harga turun sebagai "murah.")

Tapi rupa-rupanya asumsi saya salah.

Ternyata banyak juga orang yang tidak takut membeli saham yang lagi naik.

Ternyata juga, (relatif) banyak juga orang yang memilih saham yang tidak-naik-tidak-turun. (Asumsi saya: hanya 1%atau kurang— yang memilih saham tidak-naik-tidak-turun.)

Nah, sampai di sini mungkin ada beberapa pembaca yang bertanya,"Jadi, sebenarnya mana yang benar: beli saham yang naik, yang turun, atau yang tidak-naik-tidak-turun?"

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya saya beritahukan pilihan saya.

Saat baru mulai main saham dan belajar analisa fundamental, saya lebih suka membeli saham yang sedang turun yang saya anggap murah. Hasilnya: rugi besar.

Kemudian saya beralih mendalami analisa teknikal dan mencoba membeli saham yang sedang naik. Hasilnya: jauh lebih baik daripada membeli saham yang lagi turun.

Jadi sekarang ini—setelah mencoba kedua pilihan tersebut—saya memilih membeli saham yang lagi naik.

Sekarang kembali ke pertanyaan "Jadi, sebenarnya mana yang benar: beli saham yang naik, yang turun, atau yang tidak-naik-tidak-turun?"

Jawaban saya:

Membeli saham yang lagi naik tidak salah.

Membeli saham yang lagi turun juga tidak salah.

Membeli saham yang tidak-naik-tidak-turun juga sah-sah saja.

Lho? Kok tidak ada yang salah?

Iya. Karena hal di atas adalah tentang pilihan. Dan setiap orang punya preferensi masing-masing.

Kalau anda suka masakan pedas, teman anda suka masakan manis, sedangkan saya suka masakan masam, kita bertiga tidak salah. Demikian juga dengan saham: ada yang suka membeli saham yang lagi naik, ada yang suka membeli saham yang lagi turun, ada yang suka membeli saham yang tidak bergerak. Dan semuanya tidak salah.

Jadi, maksud bung Iyan ketiga-tiganya baik?

Nah, tidak salah tidak serta-merta berarti baik.

Mengapa?

Karena ada kondisi dan saat tertentu di mana lebih baik membeli saham yang lagi naik. Ada juga kondisi dan saat tertentu di mana lebih baik membeli saham yang lagi turun. Dan—boleh percaya boleh tidak—ada juga kondisi dan saat tertentu di mana lebih baik membeli saham yang tidak-naik-tidak-turun.

Apa artinya?

Artinya setelah anda tahu pilihan andabeli saham yang lagi naik, beli saham yang lagi turun, atau beli saham yang tidak-naik-tidak-turun—anda sebaiknya membeli saham hanya pada kondisi dan saat yang sesuai.

Jadi, PR (pekerjaan rumah) anda adalah untuk menyelidiki dan mencari tahu kondisi dan saat yang sesuai dengan pilihan anda.

    Cara Terbaik Belajar Main Saham

    Bagaimana cara terbaik belajar main (trading/investasi) saham? 

    Apakah harus kuliah di universitas? Atau harus ikut training/pelatihan/seminar tentang trading/investasi saham? 

    Figure 1. Cover Buku Stephen King "On Writing"

    Stephen King menulis di buku On Writing:

    You don't need writing classes or seminars any more than you need this or any other book on writing. . .
    You learn best by reading a lot and writing a lot, and the most valuables lessons of all are the ones you teach yourself.

    Terjemahannya kira-kira begini:
    Anda tidak perlu ikut kelas atau seminar menulis seperti juga anda tidak perlu buku ini ataupun buku lain tentang menulis. . .
    Anda belajar terbaik dengan banyak membaca dan banyak menulis, dan pelajaran paling berharga adalah pelajaran yang anda ajarkan pada diri sendiri.

    "Tapi bung Iyan," celetuk anda. "Emangnya apa sih hubungan menulis dengan main saham?"

    Tidak ada hubungan langsung antara menulis dengan main saham.

    Tapi ada hubungan langsung antara cara belajar menulis dan cara belajar main saham.

    Kok bisa?

    Kalau anda menggantikan kata "menulis" dengan "main saham", nasehat Stephen King menjadi sangat relevan untuk belajar saham:

    Anda tidak perlu ikut kelas atau seminar main saham seperti juga anda tidak perlu buku ini atau buku lainnya tentang main saham. . .
    Anda belajar terbaik dengan banyak membaca dan banyak main saham, dan pelajaran paling berharga adalah pelajaran yang anda ajarkan pada diri sendiri.

    Saya sangat setuju dengan wejangan Stephen King.

    Nah, sebelum memulai main saham, anda perlu banyak membaca buku-buku tentang trading saham ataupun investasi saham yang ditulis pemain saham berpengalaman. Cari dan belajarlah dari buku yang membahas pengalaman, cara analisa, strategi, psikologi, logika, konsep, suka-duka bermain saham.

    Hindari buku-buku yang ditulis orang yang pengalamannya KURANG dari 10 tahun.  Sedapat mungkin, hindari buku-buku yang judulnya bombastis (Cara Mudah Kaya dari Saham, Kaya dari Saham Hanya dengan Analisa 30 Menit, dan sejenisnya).

    Hindari juga buku-buku yang yang isinya penuh janji surga, hanya bicara yang manis-manis, dan tidak memaparkan resiko yang akan anda hadapi saat bermain saham. Buku-buku seperti ini, biasanya, hanyalah kamuflase untuk menjual seminar, software, atau trading system.

    "Jadi, bung Iyan," kata anda, "buku apa saja yang perlu saya baca?"

    Daftar buku-buku saham yang bagus bisa anda lihat di halaman "Buku."

    Nah, membaca buku-buku berkualitas bagus akan membuat anda tahu cara benar bermain saham.

    Tapi . . .

    Belajar main saham adalah seperti belajar menulis atau belajar melukis. Atau belajar main bulutangkis. Atau belajar main piano.

    Anda tidak akan bisa main piano hanya dengan membaca buku cara main piano. Anda juga tidak akan bisa main piano hanya dengan kuliah di fakultas musik atau ikut pelatihan/seminar/workshop tentang cara bermain piano.

    Satu-satunya cara agar anda bisa main piano dengan baik adalah dengan duduk di depan piano dan berlatih memainkan piano tersebut. Berjam-jam, berhari-hari, bertahun-tahun.

    Begitu juga dengan main saham.

    Anda tidak akan bisa main saham hanya dengan membaca buku cara main saham. Anda juga tidak akan bisa main saham hanya dengan kuliah di fakultas saham atau ikut pelatihan/seminar/workshop tentang bermain saham.

    Satu-satunya cara agar anda bisa main saham dengan baik adalah dengan berlatih membeli dan menjual saham. Berkali-kali, berhari-hari, bertahun-tahun.

    Tapi berbeda dengan berlatih piano, berlatih membeli dan menjual saham ada resiko ruginya. Dan kerugian ini bisa berjumlah besar dan terjadi dalam waktu yang singkat.

    Kalau anda merugi besar berkali-kali, modal anda akan ludes. Kalau modal ludes, anda tidak bisa lagi berlatih membeli dan menjual saham.

    Jadi, saat mulai belajar main saham, hal terpenting yang harus anda camkan adalah agar modal anda tidak habis dalam waktu singkat.

    Dengan kata lain, anda sendirilah yang HARUS mempertahankan modal selama mungkin sehingga anda bisa terus berlatih membeli dan menjual saham.

    Perlu anda ketahui bahwa saat mulai belajar main saham, anda (hampir) PASTI akan merugi.

    (Mungkin anda bisa untung untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Tapi suatu saat anda akan merugi. Dan kerugian ini hampir pasti lebih besar dari SEMUA keuntungan yang telah anda peroleh.)

    Nah, yang membedakan apakah anda bisa naik kelas menjadi pemain saham berpengalaman adalah apakah anda keukeh terus belajar walaupun didera kerugian.

    Anda bisa keukeh terus belajar membeli dan menjual saham kalau anda merugi tidak lebih dari 20% per tahun untuk beberapa tahun pertama. Tapi kalau kerugian anda mendekati 100% dari modal (atau bahkan lebih karena menggunakan fasilitas pinjaman/margin), mau-tidak-mau suka-tidak-suka harus berhenti membeli dan menjual saham.

    Tambahan lagi, kerugian yang besar akan sangat menyiksa secara psikologis. Jadi, walaupun bisa mendapatkan suntikan modal baru, kemungkinan besar anda sudah kapok bermain saham.

    "I see, I see," kata anda sambil menganguk-anggukan kepala. "So, bung Iyan, bagaimana caranya mempertahankan modal selama mungkin?"

    Ingin tahu jawabannya? Silahkan baca pos "Beli Saham. Jual Untung/Cut-Loss. Ulangi."

    Indikator Analisa Teknikal Average True Range (Bagian II)

    Pos ini adalah lanjutan dari pos "Indikator Analisa Teknikal Average True Range (Bagian I)."

    Di pos "Indikator Analisa Teknikal Average True Range (Bagian I)" anda sudah tahu bahwa ketika terjadi Gap Up atau Gap Down, rentang harga High/Low tidak mencerminkan rentang sesungguhnya (True Range).

    Apa ada solusinya?

    Tentu saja. 

    Solusi yang diberikan J. Welles Wilder adalah sebagai berikut:


    a. Saat Tidak Gap Down/Gap Up

    Saat tidak terjadi Gap Down/Gap Up, True Range adalah sama dengan Range yaitu High dikurangi Low.

    True Range = Range = High - Low.

    Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat Figure 1 di bawah ini.

    Figure 1. True Range Saat Tidak Ada Gap Up/Gap Down


    b. Saat Terjadi Gap Up

    Saat terjadi Gap Up, True Range adalah High hari itu dikurangi Previous Close.

    True Range = High - Previous Close.

    Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat Figure 2.

    Figure 2. True Range Saat Terjadi Gap Up


    c. Saat Terjadi Gap Down

    Saat terjadi Gap Down, True Range adalah Previous Close dikurangi Low hari tersebut.

    True Range = Previous Close - Low.

    Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat Figure 3.

    Figure 3. True Range Saat Terjadi Gap Down


    2. Rumus Cara Menghitung Average True Range

    Berdasarkan solusi J. Welles Wilder di atas, rumus untuk mendapatkan nilai True Range adalah:

    True Range = max[(High - Low), abs(High - Prev Close), abs(Prev Close - Low)]

    Kalau saya jabarkan dalam kata-kata: True Range adalah nilai maximum (terbesar) dari nilai (High - Low), nilai abs(High - Prev Close), nilai abs (Prev Close - Low).

    [Perhatikan bahwa fungsi abs (absolut, bukan asal bapak senang) adalah menjadikan (High - Prev Close) dan (Prev Close - Low) selalu bernilai positif. Ingat: yang ingin didapatkan di sini adalah RENTANG harga. Jadi, kita tidak mempermasalahkan apakah harga naik (positif) atau turun (negatif).]

    Perhatikan juga bahwa dengan rumus di atas, anda TIDAK PERLU tahu apakah terjadi Gap Up/Gap Down atau tidak.

    Mengapa?

    Karena kalau terjadi Gap Up, secara otomatis rumus akan memilih nilai abs(High - Prev Close) karena nilai tersebut adalah yang terbesar. Kalau terjadi Gap Down, secara otomatis rumus akan memilih nilai abs(Prev Close - Low) karena nilai tersebut adalah yang terbesar. Kalau tidak terjadi Gap Up/Gap Down, secara otomatis rumus akan memilih nilai (High - Low) karena nilai tersebut adalah yang terbesar.

    Keren, kan?

    Lalu bagaimana cara mendapatkan Average True Range (ATR)?

    Average True Range adalah RATA-RATA dari sejumlah True Range.

    Average True Range = (TR1 + TR2 + TR3 ... + TRn)/n

    Jadi kalau anda ingin menghitung rata-rata dari 10 True Range, jumlahkan ke 10 True Range tersebut lalu dibagi 10.

    Nilai default n untuk Average True Range adalah n = 14.

    ----#$#----

    Nah, sekarang anda sudah tahu cara menghitung Average True Range. Lalu, Average True Range ini termasuk analisa teknikal jenis apa: trend-following atau oscillator? Mau tahu? Silahkan lanjut baca ke "Indikator Analisa Teknikal Average True Range (Bagian III)." [Belum terbit. Mohon berkunjung kembali.]

    Monday, August 1, 2016

    Indikator Analisa Teknikal Average True Range (Bagian I)

    Di pos ini saya akan membahas indikator analisa teknikal Average True Range (ATR)

    Saat mempelajari indikator analisa teknikal, ada beberapa hal yang harus anda cari tahu tentang indikator tersebut:

    1. Latar belakang/Sejarah
    2. Rumus cara menghitung indikator
    3. Jenis: trend-following, oscillators, lain-lain.
    4. Fungsi
    5. Cara (benar) memakai indikator dan contoh dalam trading

    Mari kita mulai.


    1. Latar belakang/Sejarah

    Indikator Average True Range adalah ide dari J. Welles Wilder, Jr. [Ia adalah juga "bapak" dari indikator Relative Strength Index (RSI)].

    Bahasa Indonesia Average True Range (kira-kira) adalah Rata-rata Rentang Sejati.

    Range/Rentang apa yang dimaksud?

    Range yang dimaksud di sini adalah RENTANG pergerakan HARGA dalam waktu tertentu.

    Perhatikan bahwa Range/Rentang pada kurun waktu tertentu adalah JARAK antara harga High dan harga Low. Jadi, dengan kata lain, Range/Rentang harga saham pada hari tertentu adalah harga High dikurangi harga Low pada hari tersebut.

    [Jika anda belum tahu apa itu harga High dan harga Low, silahkan baca pos "Empat Komponen Harga Saham Yang Perlu Anda Ketahui."]


    Tabel 1. Average True Range WSKT
     
    Contoh: Mengacu pada Tabel 1, Range harga WSKT pada tanggal 14 Agustus 2015 = High - Low = 1.800 - 1.735 = 65.

    Tapi kenapa Wilder memberi nama TRUE Range (Rentang SEJATI)? Apanya yang sejati?

    Nah, inilah salah satu bukti bahwa Wilder adalah pemain saham dan komoditas kawakan karena, dari pengalaman tradingnya, Wilder menyadari bahwa Range High dan Low harian BELUM TENTU mencerminkan rentang harga sesungguhnya.

    Kok bisa?

    Kalau anda perhatikan gerak harga saham/komoditas, harga Open hari ini tidak harus sama dengan harga Close hari sebelumnya. Memang pada umumnya harga Open di harga Close kemarin. Namun sering juga terjadi harga Open sedikit di atas ataupun di bawah harga Close hari sebelumnya. Tapi kadang-kadang, harga Open bisa JAUH di atas (bahasa Inggris: Gap Up) ataupun JAUH di bawah (Gap Down) harga Close sebelumnya.

    Nah, ketika terjadi Gap Up atau Gap Down, rentang harga High dan Low pada hari tersebut TIDAK mencerminkan Range yang sesungguhnya.

    Coba anda perhatikan Tabel 2 di bawah.
     
    Tabel 2. Average True Range BBRI

    Tanggal 11 Agustus 2014, BBRI Close di harga 10.150. Tanggal 12 Agustus 2014 BBRI Open Gap Down di 9.850. Perhatikan bahwa harga High pada hari tersebut (10.025) LEBIH RENDAH daripada harga Close hari sebelumnya (10.150).

    [Catatan: Prev Price pada tabel di atas adalah = Harga Close hari sebelumnya.]

    Pada kondisi seperti ini, Range High - Low (10.025 - 9.650 = 375) TIDAK MENCERMINKAN rentang harga sesungguhnya.

    Kok bisa sih? Saya masih belum ngerti nih? kata anda sambil menggaruk-garuk hidung anda yang tidak gatal.

    Mari saya jelaskan supaya anda berhenti menggaruk-garuk hidung dan mulai menggaruk-garuk kepala.

    Bayangkan anda membeli BBRI pada tanggal 11 Agustus 2015 di harga Close 10.150. Saat memantau harga pada tanggal 12 Agustus, anda bengong melihat BBRI Open di 9850, naik ke High 10.025, lalu turun lagi ke 9.850 dan lanjut turun ke Low 9.650.

    Pada saat harga BBRI di Low 9.650, apakah yang terlintas di benak anda adalah "ampun deh, gue rugi 375"? (High - Low = 10.025 - 9.650 = 375).

    Saya yakin tidak begitu.

    Saya yakin yang terlintas di benak adalah adalah "ampun deh, gue rugi 500." (Prev Price - Low = 10.150 - 9.650 = 500).

    Dengan kata lain, ketika terjadi Gap Down, rentang harga High/Low pada hari tersebut lebih kecil daripada rentang sesungguhnya karena harga High pada hari itu berada DI BAWAH harga Close kemarin.

    [Perhatikan bahwa saat kondisi normal tidak Gap Down, harga High hari tersebut biasanya >= harga Close hari sebelumnya.]

    Kebalikannya, ketika terjadi Gap Up, rentang harga High/Low pada hari tersebut lebih kecil daripada rentang sesungguhnya karena harga Low pada hari itu berada DI ATAS harga Close kemarin.

    [Perhatikan juga bahwa saat kondisi normal tidak Gap Up, harga Low hari tersebut biasanya <= harga Close hari sebelumnya.]

    Berdasarkan pengamatan ini Wilder menyimpulkan bahwa saat menghitung Range/Rentang pergerakan harga, ia harus mempertimbangkan kondisi Gap Up dan Gap Down. Nah, rentang harga yang sudah mempertimbangkan kondisi Gap Up dan Gap Down inilah yang ia sebut TRUE Range (Rentang SEJATI).

    Apa solusi yang ditawarkan J. Welles Wilder sebagai True Range dari pergerakan harga saham?

    Silahkan lanjut baca ke "Indikator Analisa Teknikal Average True Range (Bagian II)." 

    Pilih Mana: Investasi Saham Jangka Panjang atau Trading Saham Jangka Pendek?

    Pilih mana:


    1. Investasi saham jangka panjang (tahunan).

    2. Investasi saham jangka bulanan.

    3. Trading saham jangka mingguan.

    4. Trading saham jangka harian.

    5. Tidak masalah investasi jangka tahunan, bulanan, ataupun trading jangka mingguan, harian. Yang penting untung.


    Silahkan memilih dengan menulis komentar.

    Pos tanggapan akan saya tulis kalau sudah ada minimal 25 orang memberikan pilihan.

    Arti Istilah "Averaging Down" Saham

    Average = rata-rata
    down = turun

    Averaging Down dalam bermain saham artinya adalah menurunkan harga rata-rata saham dengan membeli lagi saham tersebut pada harga yang lebih rendah.

    Contoh:

    Misalkan anda membeli 5 lot (5 lot x 100 lembar = 500 lembar) saham ANTM di harga Rp 400. Harga ra-rata per lembar saham anda saat tersebut adalah Rp 400.

    Beberapa minggu kemudian, namanya juga lagi apes, harga ANTM turun menjadi Rp 300. Karena menurut anda saham ANTM sudah murah, anda membeli lagi 5 lot di harga Rp 300.


    Harga rata-rata ANTM anda per lembar saat itu =

    {(500 lembar x Rp 400) + (500 lembar x Rp 300)}/1000 lembar = Rp 350.


    Nah, harga rata-rata saham ANTM anda turun dari Rp 400 ke Rp 350 karena anda membeli ANTM lagi di harga Rp 300.

    Tindakan anda membeli saham ANTM di harga Rp 300 inilah yang dinamakan Averaging Down.

    ---===$===---

    Sekarang anda sudah tahu arti istilah Average Down.

    Pertanyaan berikutnya: apakah melakukan Averaging Down adalah tindakan yang benar?

    Tony Salibasalah satu top trader yang di-interview Jack Schwager di buku Market Wizards—menganalogikan Averaging Down dengan melubangi perahu yang bocor.

    "When you are in a boat that springs a leak, you don't drill another hole to let the water out," begitu kata Tony Saliba.

    Ketika anda berada di perahu yang bocor, anda tidak membor satu lubang lagi untuk mengeluarkan air. 

    Artinya?

    Artinya, menambah lubang di perahu bocor adalah tindakan yangmeminjam kata dari Holy, teman SMA sayasuper guoblok. Alih-alih airnya akan keluar, malahan perahu akan lebih cepat tenggelam.

    "Jadi bung Iyan," celetuk anda, "membeli saham lebih banyak lagi saat saham turun adalah tindakan yang salah?"

    Secara umum, betul bahwa Averaging Down adalah tindakan yang salah.

    "Tapi di pos 'Cara Membeli Saham Untuk Pemula (Bagian III)' bung Iyan menyarankan untuk membeli saham secara bertahap: langsung beli separuh saat itu juga dan beli lagi separuh kalau harga turun. Bukankah ini juga Averaging Down?"

    Wah, rupa-rupanya ada juga pembaca yang membaca dengan teliti.

    Memang betul di pos "Cara Membeli Saham Untuk Pemula (Bagian III)" saya menyarankan pemula untuk membeli langsung 1/2 bagian saham dan membeli 1/2 bagian lagi di kemudian waktu.

    Nah, membeli di kemudian waktu ini TIDAK BERARTI membeli lagi HANYA kalau saham turun. Membeli di kemudian waktu ini bisa dilakukan di harga lebih rendah, di harga sama, ataupun harga lebih tinggi.

    Tapi saya akui bahwa di pos tersebut saya memakai contoh membeli lagi saham ketika harga saham turun. Tindakan tersebutmenurut definisi di atas—adalah tetap saja Averaging Down.

    "Jadi yang benar gimana dong?" kata anda. "Katanya Averaging Down adalah tindakan salah?"

    Saya ulangi kalimat di atas: Secara umum, betul bahwa Averaging Down adalah tindakan yang salah.
    Tapi kalau anda adalah pembaca setia blog ini, kemungkinan besar anda pernah membaca pernyataan saya bahwa TIDAK ADA yang ABSOLUT saat bermain saham.

    Artinya, sedapat mungkin HINDARI tindakan Averaging Down. Tapi ada saat dan kondisi tertentu di mana anda boleh mempertimbangkan Averaging Down.

    Dan Averaging Down boleh anda pertimbangkan HANYA kalau anda sudah menyiapkan Trading Plan untuk semua skenario. Dan yang paling penting: selalu ingat untuk menentukan titik Cut-Loss dan lakukan Cut-loss kalau harga saham mencapai titik tersebut.

    Yang harus anda camkan adalah ini: kalau harus memilih antara Averaging Down dan Cut-loss, selaluSELALU, ALWAYS, JANGAN PERNAH RAGU—pilih Cut-loss.